Minggu, 26 Februari 2017

Sejarah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 Lengkap

Latar Belakang
 

Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima, Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau Dokuritsu Junbi Cosakai, berganti nama menjadi PPKI ( Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.

Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km disebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang. Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI. Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus. Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang.

Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang. Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong. Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan. Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan.Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.
 
Peristiwa Rengasdengklok


Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana--yang konon kabarnya terbakar gelora heroismenya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka --yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dinihari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apapun risikonya. Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs.Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang ke rumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.

Pertemuan Soekarno/Hatta dengan Jenderal Mayor Nishimura dan Laksamana Muda Maeda

Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno-Hatta yang diantar oleh Maeda Tadashi dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militerJepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokyo bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi ijin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu. Akhirnya Sukarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokyo dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan.

Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshiguna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Myoshiyang setengah mabuk duduk dikursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini Bung Karno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti. Bung Hatta, Subardjo, B. M Diah, Sukarni, Sudiro dan Sajuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima tetapi di beberapa kalangan klaim Nishijima masih di dengungkan. Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik Mayor(Laut) Dr. Hermann Kandeler. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan kekediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarangJl. Proklamasi no. 1).

Detik-detik Pembacaan Naskah Proklamasi

Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis diruang makan di laksamana Tadashi Maeda jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti Melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti.

sumber : http://www.serunik.com/2015/08/sejarah-proklamasi-kemerdekaan.html
sumber foto : https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcS48poBHFKeM6VqoCjRi5RjCaYAMCegKttKjliv8odT2D7mUsX6
 

Sabtu, 26 November 2016

Kebudayaan Jawa Barat



 
1. Rumah Adat

Salah satu contoh rumah adat Jawa Barat dinamakan Keraton Kasepuhan Cirebon yang di depannya terdapat pintu gerbang. Keraton Kasepuhan Cirebon ini terdiri dari 4 ruangan. Jinem atau pendopo untuk para pengawal/penjaga keselamatan Sultan. Pringgodani, tempat Sultan memberi perintah kepada adipati. Prabayasa, tempat menerima tamu istimewa Sultan dan Panembahan, ruang kerja dan istirahat Sultan.
2. Pakaian Adat
Pakaian adat pria Jawa Barat berupa tutup kepala (destar), berjas dengan leher tertutup (jas tutup). Ia juga memakai kalung, sebilah keris yang terselip di pinggang bagian depan serta berkain batik.
Sedangkan wanitanya memakai baju kebaya, kalung, dan berkain batik. Beberapa hiasan kembang goyang menghiasi bagian atas kepalanya. Begitu pula rangkaian bunga melati yang menghiasi rambut yang disanggul. Pakaian ini berdasarkan adat Sunda.
 
3. Tari-tarian Jawa Barat
a. Tari Topeng Kuncuran, merupakan sebuah tarian yang mengisahkan dendam kesumat seorang raja karena cintanya ditolak.
b. Tari Merak, sebuah tari yang mengisahkan kehidupan burung merak yang serba indah dan memukau.
c. Tari Rarasati. Dewi Rarasati sebagai selir Arjuna yang cantik dan lembut ternyata memiliki jiwa keprajuritan. Kepandaiannya dalam memanah telah menyadarkan Srikandi dari kesombongannya. Saripati gambaran tersebut kemudian diangkat dalam bentuk tari kelompok dengan sumber gerak tari tradisi Cirebon.
d. Tari Jaipong, suatu bentuk tarian pergaulan Jawa Barat yang terkenal.
4. Senjata Tradisional
Di Jawa Barat senjata tradisional yang terkenal adalah kujang. Pada mata kujang terdapat 1-5 buah lubang dan sarungnya terbuat dari kain hitam.
Senjata lainnya adalah keris kirompang, keris kidongkol, golok, bedok, panah bambu, panah kayu dan tombak.
sumber : http://www.kebudayaanindonesia.com/2013/06/jawa-barat.html
 sumber foto ; https://www.google.com/imgres?imgurl=https%3A%2F%2F3.bp.blogspot.com%2F-vLHdixfx5uY%2FWCKk5iKsr9I%2FAAAAAAAAQGs%2FhhSD8mLsK-UIbMnm4-N9yPdagDMmwgaigCLcB%2Fs1600%2FPasanggiri%252BAngklung%252BJawa%252BBarat%252B2016.jpg&imgrefurl=http%3A%2F%2Fwww.wisatabdg.com%2F2016%2F11%2Fpasanggiri-angklung-jabar-2016-tingkat.html&docid=tG9TuPTTjFCeVM&tbnid=aCvzFP13jvjpsM%3A&vet=1&w=1600&h=1200&bih=659&biw=1366&ved=0ahUKEwjG3K6CvMfQAhVDL48KHaHEBmAQMwh1KEcwRw&iact=mrc&uact=8
 

Sabtu, 12 November 2016

SEJARAH PALANG MERAH INDONESIA (PMI)

SEJARAH PALANG MERAH INDONESIA (PMI) 
 

Berdirinya Palang Merah di Indonesia sebetulnya sudah dimulai sebelum Perang Dunia II, tepatnya 12 Oktober 1873.Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan Palang Merah di Indonesia dengan nama Nederlandsche Roode Kruis Afdeeling Indië (NERKAI) yang kemudian dibubarkan pada saat pendudukan Jepang. Perjuangan mendirikan Palang Merah Indonesia (PMI) diawali 1932. Kegiatan tersebut dipelopori Dr. R. C. L. Senduk dan Dr. Bahder Djohan dengan membuat rancangan pembentukan PMI. Rancangan tersebut mendapat dukungan luas terutama dari kalangan terpelajar Indonesia, dan diajukan ke dalam Sidang Konferensi Narkai pada 1940, akan tetapi ditolak mentah-mentah. Rancangan tersebut disimpan menunggu saat yang tepat. Seperti tak kenal menyerah pada saat pendudukan Jepang mereka kembali mencoba untuk membentuk Badan Palang Merah Nasional, namun sekali lagi upaya itu mendapat halangan dari Pemerintah Tentara Jepang sehingga untuk yang kedua kalinya rancangan tersebut kembali disimpan.

Proses pembentukan PMI dimulai 3 September 1945 saat itu Presiden Soekarno memerintahkan Dr. Boentaran (Menkes RI Kabinet I) agar membentuk suatu badan Palang Merah Nasional. Dibantu panitia lima orang yang terdiri dari Dr. R. Mochtar sebagai Ketua, Dr. Bahder Djohan sebagai Penulis dan tiga anggota panitia yaitu Dr. R. M. Djoehana Wiradikarta, Dr. Marzuki, Dr. Sitanala, Dr Boentaran mempersiapkan terbentuknya Palang Merah Indonesia. Tepat sebulan setelah kemerdekaan RI, 17 September 1945, PMI terbentuk. Peristiwa bersejarah tersebut hingga saat ini dikenal sebagai Hari PMI.

Peran PMI adalah membantu pemerintah di bidang sosial kemanusiaan, terutama tugas kepalangmerahan sebagaimana dipersyaratkan dalam ketentuan Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 yang telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1958 melalui UU No 59. Sebagai perhimpunan nasional yang sah, PMI berdiri berdasarkan Keputusan Presiden No 25 tahun 1950 dan dikukuhkan kegiatannya sebagai satu-satunya organisasi perhimpunan nasional yang menjalankan tugas kepalangmerahan melalui Keputusan Presiden No 246 tahun 1963.
Seperti Palang Merah Internasional, lahirnya PMI juga berkaitan dengan kancah peperangan, diawali pada :

MASA SEBELUM PERANG DUNIA II


21 Oktober 1873 Nederlands Rode Kruis Afdeling Indie (NERKAI) didirikan Belanda.
Tahun 1932 dr. RCL Senduk dan dr. Bahder Djohan merencanakan mendirikan Badan PMI
Tahun 1940 pada sidang konperensi NERKAI, rencana diatas ditolak karena menurut Pemerintah Belanda, rakyat Indonesia belum mapu mengatur Badan Palang Merah Nasional.

MASA PENDUDUKAN JEPANG

 
Dr. RCL Senduk berusaha lagi unuk mendirikan BADAN PMI namun gagal, ditolak Pemerintah DAI NIPPON.


MASA KEMERDEKAAN RI

17 Agustus 1945 RI merdeka
3 September 1945 Presiden Soekarno memrintahkan kepada Menteri Kesehatan dr. Buntaran Martoatmodjo untuk membentuk suatu Badan Palang Merah Nasional.Pembentukan PMI dimaksudkan juga untuk menunjukkan pada dunia internasional bahwa negara Indonesia adalah satu fakta yang nyata.
5 September 1945 Menkes RI dlam Kabinet I (dr. Boentaran) membentuk Panitia 5 (lima) : Ketua : dr. R. Mochtar, Penulis : dr. Bahder Djohan, Anggota : (dr. Djoehana, dr. Marzuki, dr. Sitanala)
17 September 1945 tersusun Pengurus Besar yang dilantik oleh Wakil Presiden RI Moch. Hatta yang sekaligus beliau sebagai Ketuanya.

MASA PERANG KEMERDEKAAN
 
Pada masa itu terjadi peperangan dimana-mana. Dalam usia muda PMI menghadapi kesulitan, kurang pengalaman, kurang peralatan dan dana. Namun orang-orang secara sukarela mengerahkan tenaganya, sehingga urusan kepalangmerahan dapat diselenggarakan.Berbagai pertolongan dan bantuan seperti Dapur Umum, Pos Pertolongan Pertama/PP, pengangkutan dan perawatan korban pertempuran, sampai pada penguburannya jika ada yang meninggal, dilakukan oleh laskar-laskar sukarela di bawah Panji Palang Merah yang tidak memandang golongan, agama dan paham politik memudahkan pekerjaan membantu mereka yang memerlukan bantuan di mana saja.Pada waktu dibentuk Pasukan Penolong Pertama (Mobile Colone) oleh Cabang-Cabang. Anggotanya terdiri dari pelajar sekolah tinggi dan menengah. Pada permulaan tahun 1946 telah terkumpul kurang lebih 60 wanita untuk dididik sebagai pembantu jururawat yang di asramakan di gedung Chr. HBS Salemba.Meeka kemudian dikirim ke daerah l.

sumber :  http://www.intipsejarah.com/2014/09/sejarah-palang-merah-indonesia-pmi.html
sumber foto : https://encrypted-tbn3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRW6X5oo94LKVOGQalxBqB6Vy2_Q-AyyuVDgYTCqPvZw7nC6vLVhQ

Sabtu, 08 Oktober 2016

Latar belakang berdirinya Dinasti Umayyah

Berdirinya Dinasti Umayyah

 

Setelah masa Khulafaur Rasyidin berakhir yang ditutup oleh kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib dilanjutkan dengan pemerintahan Islam yaitu Dinasti Umayyah.
Sejarah berdirinya Dinasti Umayyah dilatar belakangi oleh peristiwa perdamaian Islam dikota Maskin dekat Madam Kuffuah yang dikenal dengan sebutan Ammul Jamaah. Perdamaian tersebut tarjadi pada tahun 41 Hijriyah/661 Masehi pada masa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Kemudian dari perdamaian Islam tersebut dipegang oleh Hasan bin Ali. Sistem demokrasi yang telah dibangun oleh Khulafaur Rasyidin diganti menjadi sistem pemerintahan monarki (keturunan).
Hal ini menjadi perpolitikan yang panjang bagi umat Islam. Mengingat pada saat Khalifah Usman bin Affan wafat digantikan dengan Ali bin Abi Thalib. Kepemimpinan Ali bin Abi Thalib pun memicu perdebatan antara kaum muslimin itu sendiri. Penolakan beruntut menjadi konflik yang tiada henti sehingga terjadi peperangan antara pendukung Ali bin Abu Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sofyan yang merupakan pendukung Khalifah Usman bin Affan. Mengingat Khalifah Ali bin Abu Thalib akan mengusut pembunuhan Usman bin Affan, beliau sangat berhati-hati manangani masalah ini. Karena beliau tidak ingin ada dampak yang buruk terjadi dalam penanganan masalah tersebut.
Keluarga Bani Umayyah yang selama ini merasa mempunyai pelindung atas berbagai kepentingan mereka menjadi terguncang mendengar Khalifah Usman bin Affan wafat. Bani Umayyah berupaya mencari pembunuh Khalifah Usman bin Affan untuk menuntut balas. Upaya yang dilakukan adalah menuntut Ali bin Abu Thalib untuk mengusut tuntas pembunuhan itu. Tetapi tidak ada respon maka dari itu Muawiyah bin abu Sofyan dan pendukungnya Bani Umyyah menyusut pembunuhan tersebut. Dengan cara mencari informasi sehingga informasi yang didapat bahwa dalang dibalik pembunuhan tersebut adalah Muhammad bin Abu Bakar. Bani Ummayah dan para pendukungnya menuntut Ali bin Abu Thalib untuk melakukan proses hukum terhadap Muhammad bin Abu Bakar. Namun, Ali bin Abu Thalib tidak mengabulkan permintaan tersebut karena tuduhan tersebut tidak berdasarkan bukti yang kuat. Karena keberadaan Muhammad bin abu Bakar justru untuk melindungi Khalifah Usman bin Affan.
Dari hal tersebut, Khalifah Ali bin Abu Thalib mengubah sistem pemerintahan dan merombak pemerintahan serta mengambil langkah pergantian pejabat yang diangkat oleh Usman bin Affan karena dianggap sumber kekacauan. Muawiyah memanfaatkan kekecewaan para mantan pejabat pada masa Usman bin Affan. Sehingga banyak melakukan penolakan sampai-sampai para pendukung Usman bin Affan membawa jubah Khalifah Usman bin Affan yang penuh darah dan menuduh Ali bin Abu Tholib terlibat dalam pembunuhan ini dan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap Khalifah Ali bin Abu Thalib. Selain Muawiyah, kelompok pendukung Ali bin abu Thalib sebagai kaum Syam dan kelompok Zubair bin Awwan tidak menyetujui Khalifah Ali bin Abu Thalib. Mereka menganggap beliau tidak mampu mengatasi dunia politik dalam negeri dan lambannya pengusutan kasus pembunuhan Khalifah Usman bin Affan.
Dengan adanya kelompok tersebut akhirnya menimbulkan perselisihan antar sesama muslim.  Padahal sebenarnya Abdullah bin Saba’ orang Yahudi yang pura-pura masuk Islam kemudian menyebarkan fitnah. Akhirnya menimbulkan perang, pasukan Ali bin Abu Thalib menyerang kota Basrah dan bertempur di Khutaibah dekat Basrah pada tanggal 10 Jumadil akhir 36 H. Sebenarnya pemimpin menginginkan damai akan tetapi pasukan ingin menyelesaikan peperangan. Dalam peperangan itu Zubair bin Awwan tewas dan Abdullah bin Zubair melarikan diri.
Setelah perang itu, pasukan menuju ke Kuffah untuk menyelesaikan permasalahan dengan Muawiyah. Pasukan Khalifah Ali bin Abu Thalib mengutus Jarir bin Abdullah Al Bajali agar Muawiyah menjauh dari kekhalifahan Ali bin Abu Thalib. Ajakan damai tersebut masih ditolak oleh Muawiyah. Karena tidak ada titik temu pasukan Ali bin Abu Thalib terus maju hingga kesuatu tempat bernama Siffin. Disinilah pertempuran berlangsung selama 40 hari  pada tahun 657. Perang ini disebut dengan perang Siffin. Sehingga berakhir dengan damai dan membuahkan kesepakatan bahwa:
1. Usman bin Affan meninggal karena teraniaya dan yang berhak menuntut balas adalah Muawiyah.
2. Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah harus turun dari jabatan masing-masing.
3. Pengunduran diri mereka disaksikan oleh 100 orang utusan kedua belah pihak.
Khalifah Ali bin Abu Thalib wafat pada tanggal 15 Ramadhan 40 H karena terbunuh oleh Abdurahman bin Ibnu Muljam ketika beliau sedang shalat subuh. Pemerintahan khulafaur Rasyidin digantikan oleh Hasan bin Ali yang merupakan anak dari Ali bin Abu Thalib sendiri. Tetapi kepemimpinan Hasan tidak berlangsung lama karena selalu ditekan oleh Muawiyah. Akhirnya dengan jiwa besar Hasan bin Ali menyerahkan tahta kepada pemerintahan Muawiyah dengan tiga syarat yaitu Muawiyah harus menjamin keselamatan seluruh keluarganya, Muawiyah harus menjaga nama baik Khalifah Ali bin Abu Thalib, dan setelah Muawiyah meninggalkan jabatan kepemimpinan harus diserahkan kepada kaum muslimin secara bermusyawarah.
Setelah terjadi kesepakatan, Muawiyah datang ke Kuffah untuk berasumpah dan ditetapkan sebagai Khalifah yaitu pada bulan Rabiul Akhir tahun 41 H. Setelah itu Ia kembali ke Damaskus dan menetapkan kota Damskus sebagai pusat pemerintahan kerajaan Daulah Bani Umayyah.
Jadi, terbentuknya Dinasti Umayyah dilatar belakangi oleh terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan. Kemudian diangkatnya Ali bin Abu Thalib sebagai Khalifah. Hal ini menyebabkan dampak negatif untuk para Muslimin. Sebagian kaum Muslimin tidak menyetujui kepemimpinan Ali bin Abu Thalib. Terutama Muawiyah yang sangat tidak menyetujui kepemimpinan Ali bin Abu Thalib. Muawiyah memanfaatkan semua mantan pejabat pada masa Usman bin Affan dan masyarakat untuk tidak menyetujui Ali bin Abu Thalib. Muawiyah dan Bani Umayyah yang bersih keras untuk mencari tahu terbunuhnya Usman bin Affan. Akhirnya terjadi peperangan antara kamu Muslim itu sendiri antara Muawiyah dengan Khalifah Ali bin abu Thalib beserta pengikutnya. Perang tersebut berakhir dengan perdamaian bersyarat. Tidak lama kemudian Khalifah Ali bin Abu Thalib wafat karena dibunuh oleh Abdurrahman Ibnu bin Muljam pada saat sholat subuh. Kepemimpinanpun diganti oleh Hasan anak dari Khalifah sendiri. Namun kepemimpinan tersebut tidak lama, karena selalu ditekan oleh Muawiyah. Akhirnya Hasan memberikan kepemimpinan tersebut ke Muawiyah. Muawiyahpun kembali ke kota Damaskus yang dijadikan tempat pemerintahan kerajaan Daulah Bani Umyyah.

sumber : http://gurumurid.com/latar-belakang-berdirinya-dinasti-umayyah/
sumber foto : https://encrypted-tbn2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTZcWLHmcjPbmIdasdZP-fQo508H2iLm_4d-jGLjYiwK2MmIo9MMg

 

Sabtu, 01 Oktober 2016

SEJARAH KERAJAAN BANJAR KALIMANTAN SELATAN

 
Kerajaan Banjar adalah kerajaan Islam terbesar di kalimantan yang dapat mempersatukan beberapa kerajaan kecil di wilayah Kalimantan seperti Kerajaan Paser dan Kerajaan Kutai di kalimantan Timur, Kerajaan Kotawaringin di Kalimantan Tengah, serta Kerajaan Qodriah, Kerajaan Landak, dan Kerajaan Mempawah di Kalimantan Barat. Kerajaan Banjar juga mempunyai sejarah cukup panjang, karena diawali dari masa yang jauh sebelum masuknya pengaruh Islam, yaitu masa yang ditandai dengan berdirinya Candi Laras dan Candi Agung pada masa Hindu-Budha.

Sesuai tutur Candi (Hikayat Banjar Versi II), di Kalimantan telah berdiri suatu pemerintahan dari dinasti kerajaan (keraton) yang terus menerus berlanjut hingga derah ini digabung ke dalam Hindia Belanda pada 11 Juni 1860:

1.Keraton awal disebut Kerajaan Kahuripan.
2.Keraton I disebut Kerajaan Negara Dipa
3.Keraton II disebut Kerajaan Negara Daha.
4.Keraton III disebut Kesultanan Banjar
5.Keraton IV disebut Kerajaan Martapura
6.Keraton V disebut Pagustian.

Kerajaan Banjar Islam merupakan salah satu kerajaan terbesar di Kalimantan. Hingga saat ini terdapat kontropersi di kalangan ahli sejarah mengenai kapan Islam masuk ke Kalimantan Selatan. Paling tidak ada dua aliran besar tentang ini :Pertama kalangan yang mengatakan bahwa Islam masuk sebelum pasukan demak tiba di Banjarmasin; Kedua, golongan yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Kalimantan Selatan setelah Kerajaan Daha berhasil direbut oleh Pangeran Samudera bersamaan dengan pasukan militer Kerajaan Islam Demak.

Sejarah Berdirinya Kesultanan Banjar

Penghuni pertama Kalimantan Selatan diperkirakan terkonsentrasi di desa-desa besar, di kawasan pantai kaki Pegunungan Meratus yang lambat laun berkembang menjadi kota-kota bandar yang memiliki hubungan perdagangan dengan India dan Cina. Dalam perkembangannya, konsentrasi penduduk juga terjadi di aliran Sungai Tabalong. Pada abad ke 5 M, diperkirakan telah berdiri Kerajaan Tanjungpuri yang berpusat di Tanjung, Tabalong. Jauh beberapa abad kemudian, orang-orang Melayu dari Sriwijaya banyak yang datang ke kawasan ini. Mereka memperkenalkan bahasa dan kebudayaan Melayu sambil berdagang. Selanjutnya, kemudian terjadi asimilasi dengan penduduk setempat yang terdiri dari suku Maayan, Lawangan dan Bukit. Maka, kemudian berkembang bahasa Melayu yang bercampur dengan bahasa suku-suku daerah tempatan, yang kemudain membentuk bahasa Banjar Kalsik.

Di daerah Banjar telah berdiri Kerajaan Hindu, yaitu Negara Dipa yang berpusat di Amuntai. Kemudian berdiri Negara Daha yang berpusat di daerah Negara sekarang. Menurut Hikayat Banjar tersebut, Negara Dipa adalah kerajaan pertama di Kalimantan Selatan.

Cikal bakal Raja Dipa bisa dirunut dari keturunan Aria Mangkubumi. Ia adalah seorang saudagar kaya, tetapi buka keturunan raja. Oleh sebab itu, berdasarkan sistem kasta dalam Hindu, ia tidak mungkin menjadi raja. Namun, dalam praktiknya, ia memiliki kekuasaan dan pengaruh yang dimiliki oleh seorang raja. Ketika ia meninggal, penggantinya adalah Ampu Jatmia, yang kemudian menjadi raja pertama Negara Dipa. Untuk menutupi kekurangannya yang tidak berasal dari keturunan raja, Jatmika kemudian banyak mendirikan bangunan, seperti candi, balairung, kraton dan arca berbentuk laki-laki dan perempuan yang ditempatkan di candi. Segenap warga Negara Dipa diwajibkan menyembah Arca ini.

Ketika Ampu Jatmika meninggal dunai, ia berwasiat agar kedua anaknya, Ampu Mandastana dan Lambung Mangkurat tidak menggantikannya, sebag mereka bukan keturunan raja. Tapi kemudian, Lambung Mangkurat berhasil mencari pengganti raja, dengan cara mengawinkan seorang putri Banjar, Putri Junjung Buih dengan Raden Putera, seorang pangeran dari Majapahit. Setelah menjadi raja, Raden Putera memakai gelar Pangeran Suryanata, sementara Lambung Mangkurat memangku jabatan sebagai Mangkubumi.

 Setelah Negara Dipa runtuh, muncul Negara Daha yang berpusat di Muara Bahan. Saat itu, yang memerintah di Daha adalah Maharaja Sukarama. Ketia Sukarama meninggal, Ia berwasiat agar cucunya Raden Samudra yang menggantikan. Tapi, karena masih kecil, akhirnya Raden Samudra kalah bersaing dengan pamannya, Pangeran Tumenggung yang juga berambisi menjadi raja. Atas nasehat Mangkubumi Aria Tranggana dan agar terhindar dari pembunuhan, Raden Samudra kemudian melarikan diri dari Daha, dengan cara menghilir sungai melalui Muara Bahan ke Serapat, Balandian, dan memutuskan untuk bersembunyi di daerah Muara Barito. Di daerah aliran Sungai Barito ini, juga terdapat beberapa desa yang dikepalai oleh para kepala suku. Diantara desa-desa tersebut adalah, Tamban, Kuwin, Balitung dan Banjar. Kampung Banjar merupakan perkambungan Melayu yang dibentuk oleh liam buah sungai yakni Sungai Pandai, Sungai Sigaling, Sungai Karamat, Jagabaya dan Sungai Pangeran (Pegeran). Semua anak Sungai Kuwin. Desa Banjar ini terletak di tengah-tengah pemukiman Oloh Ngaju di Barito Hilir.

Orang Dayak Ngaju menyebut orang yang berbahasa Melayu dengan sebutan Masih. Oleh karena itu, desa Banjar disebut Banjarmasih, dan pemimpinnya disebut Patih Masih. Desa-desa di daerah Barito ini semuanya takluk di bawah Daha dengan kewajiban membayar pajak dan upeti. Hingga suatu ketika, Patih Masih mengadakan pertemuan dengan Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, Patih Kuwin untuk berunding, agar bisa keluar dari mengaruh Daha, dan menjadikan kawasan mereka merdeka dan besar.
Keputusannya, mereka sepakat mencari Raden Samudera, cucu Maharaja Sukarama yang kabarnya sedang bersembunyi di daerah Balandean, Serapat. Kemudian, mereka juga sepakat memindahkan bandar perdagangan ke Banjarmasih. Selanjutnya, di bawah pimpinan Raden Samudra, mereka memberontak melawan kerajaan Daha. Peristiwa ini terjadi pada abad ke-16 M. Pemberontakan ini amat penting, karena telah mengakhiri eksistensi Kerajaan Daha, ytang berarti akhir dari era Hindu. Selanjutnya, masuk ke era Islam dan berdirilah Kerajaan Banjar.

Dalam sejarah pemberontakan itu, Raden Samudra meminta bantuan Kerajaan Demak di Jawa. Dalam Hikayat Banjar disebutkan, Raden Samudra mengirim duta ke Demak untuk mengadakan hubungan kerja sama militer. Utusan tersebut adalah Patih Balit, seorang pembesar Kerajaan Banjar. Utusan menghadap Sultan Demak dengan seperangkat hadiah sebagai tanda persahabatan berupa sepikul rotan, seribu buah tudung saji, sepuluh pikul lilin,
seribu bongkah damar dan sepuluh biji intan. Pengiring duta kerajaan ini ekitar 400 orang. Demak menyambut baik utusan ini, dan sebagai persyaratan, Demak meminta kepada utusan tersebut, agar Raja Banjar dan semua pembesar mau memeluk agam Islam. Atas bantuan Demak, Pangeran Samudera behasil mengalahkan Pangeran Tumenggung, penguasa Daha, sekaligus menguasai seluruh daerah taklukan Daha.

Setelah berhasil meruntuhkan dan menguasai kerajaan Daha, maka Raden (Pangeran) Samudera segera menunaikan janji untuk memeluk Islam. Setelah masuk Islam, ia memakai gelar Sultan Suriansyah. Gelar lainnya adalah Panembahan atau Susuhunan Batu Habang. Dialah Raja Banjar pertama yang memeluk Islam, dan sejak itu, agam Islam berkembang pesat di Kalimantan Selatan. Pangeran Samudra (Sultan Suriansyah) diIslamkan oleh wakul penghulu demak, Khatib Dayan pada tanggal 24 September 1526 M, hari Rabu Jam 10 pagi, bertepatan dengan 8 Zulhijjah 932 H. Khatib Dayan merupakan Penghulu Demak Rahmatullah, dengan tugas melakukan proses pengislaman raja beserta pembesar kerajaan. Khatib Dayan bertugas di Kerajaan Banjar sampa ia meninggal dunai, dan dikuburkan di Kuwin Utara.
Sultan Suriansyah telam membuka era baru di Kerajaan Banjar dengam masuk dan berkembangnya agam Islam. Kerajaan Banjar yang dimaksud di sini adalah kerajaan pasca masuknya agama Islam. Sementara era Negara Dipa dan Daha merupakan era tersendiri yang melatarbelakangi kemunculan Kerajaan Banjar. Diperkirakan, Suriansyah meninggal dunia sekitar tahun 1550 M. Seiring masuknya kolonial kulit putih Eropa, Kerajaan Banjar kemudian dihapuskan oleh Belanda pada 11 Juni 1860.

Dalam perjalannya, Kerajaan Banjar telah mengalami berbagai kesulitan dan ancaman baik eksternal maupun internal, terutama masa-masa setelah datangnya bangsa kolonial. Pusat kerajaan Banjar atau keraton Banjar harus berpindah-pindah dari stua tempat ketempat lain tidak kurang dari 5 (lima) kali. Tetapi tak satupun sisa-sisa tinggalan Keraton Banjar tersebut yang dapat diwariskan kepada generasi sekarang. Keraton pertama yang disebutkan berada di wilayah Kuin, dan keraton kedua yang berlokasi di Kayutangi atau Teluk Selong, Martapura, tidak ada seorangpun yang dapat menjelaskannya. Kenyataannya yang sekarang dapat ditemui di Kuin saat ini hanyalah lokasi Makam Sultan Suriansyah dan para tokoh yang sejaman seperti khatib Dayan, serta maka keluarga Sultan Suriansyah sendiri.

Tidak atau belum diktemukan serta diketahui dimana lokas Keraton Banjar dan bagaimana bentuk arsitekturnya hingga saat ini merupakan pertanyaan penelitian atau recearch questions yang menarik untuk dicarikan jawabannya.

Sehubungan dengan hal itulah penelitian ini dilakukan, dengan melakukan kerja kolaborasi antara sejarah, arkeologi dan arsitektur, maka diharapkan dapat mengak tabi yang selama ini belum ada yang mengangkat dan membicarakannya.
Masuk dan berkembangnya Islam berlangsung sebelum Kesultanan Banjar berdiri. Hal ini dikarenakan wilayah cikal bakal Kesultanan Banjar berdiri. Hal ini dikarenakan wilayah cikal bakal Kesultanan Banjar yang strategis, yaitu jalur perdagangan dan pelayaran. Melalui pelabuhan dan transaksi perdagangan yang ada Islam di dakwahkan oleh pedagang-pedagang muslim kepada rakyat.

Masuknya Islam berlangsung dengan damai dikawasan ini melalui tangan pedangang dan para ulama. Dalam salah satu makalah Pra Seminar Sejarah Kalsel (1973) disebutkan, Sunan Giri juga pernah singgah di Pelabuhan Banjar. Sunan Giri melakukan transaksi pedagang dengan warga sekitar dan bahkan memberikan secara gratis barang-barang kepada penduduk yang fakir.

Disamping itu juga terdapat keterangan mengenai salah seorang pe-muka Kerajaan Daha, yakni Raden Sekar Sungsang yang menimba ilmu kepada Sunan Giri. Melalui jalur ini Pengeran Samudra mengenai Islam dan kelak mengadakan hubungan dengan Kesultanan Demak. Pangeran Samudra sendiri kemudain masuk Islam dan mengganti namanya menjadi sultan Suriansyah. Sekaligus berdiri pada haru Rabu 24 September 1526. Tempat pemerintahan dipusatkan di rumah Patih Masih, daerah perkampungan suku Melayu yang terletak di antara Sungai Keramat dan jagabaya dengan Sungai Kuyin sebagai induk. Pada tempat ini pula dibangun sebuah Masjid yang berdiri hingga sekarang, dikenal dengan nama Masjid Sultan Suriansyah.

Dalam perjalanannya, Kerajaan Banjar telah mengalami berbagai kesulitan dan ancaman baik dari eksternal maupun internal, terutama masa-masa setelah datangnya bangsa kolonial. Pusat kerajaan atau Keraton Banjar harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tampat lain tidak kurang dari 5 (lima) kali. Tetapi tak satupun sisa-sisa tinggalan Keraton Banjar tersebut yang dapat diwariskan kepada generasi sekarang. Kerator pertama yang disebutkan berada di wilayah Kuin, dan keraton kedua yang berlokasi di Kayutangi atau Teluk Selong, Martapura, tidak ada seorangpun yang dapat menjelaskannya. Kenyataan yang sekarang dapat ditemu di Kuin saat ini hanyalah lokasi Makan Sultan Suriansyah dan para tokoh sejaman seperti khatib Dayan, serta makam keluarga Sultan Suriansyah sendiri.

Raja-raja Kerajaan Banjar

1. 1526 – 1545: Pangeran Samudra yang kemudian bergelar Sultan Suriansyah, Raja pertama yang memeluk Islam
2. 1545 – 1570: Sultan Rahmatullah
3. 1570 – 1595: Sultan Hidayatullah
4. 1595 – 1620: Sultan Mustain Billah, Marhum Penambahan yang dikenal sebagai Pangeran Kecil. Sultan inilah yang memindahkan Keraton ke kayutangi, Martapura, karena keraton di Kuin yang hancur diserang Belanda pada Tahun 1612.  
5. 1620 – 1637: Ratu Agung bin Marhum Penembahan yang bergelar Sultan Inayatullah.
6. 1637 – 1642: Ratu Anum bergelar Sultan Saidullah
7. 1642 – 1660: Adipati Halid memegang jabatan sebagai wali Sultan, karena anak Sultan Saidullah, Amirullah Bagus kesuma belum dewasa.

8. 1660 – 1663: Amirullah Bagus Kesuma memegang kekuasaan hingga 1663, kemudian Pangeran Adipati anum (Pangeran Suriansyah) merebutk kekuasaan dan memindahkan kekuasaan ke Banjarmasin.

9. 1663 – 1679: Pangeran Adipati Anum setelah merebut kekuasaan memindahkan pusat pemerintahan ke Banjarmasin bergelar Sultan Agung.

10. 1679 -1700: Sultan Tahlilullah berkuasa
11. 1700 – 1734: Sultan Tahmidullah bergelar Sultan Kuning.
12. 1734 – 1759: Pangeran Tamjid bil Sultan Agung, yang bergelar Sultan Tamjidillah.
13. 1759 – 1761: Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah
14. 1761 – 1801: Pangeran Nata Dilaga sebagai wali putra Sultan Muhammad Aliuddin yang belum dewasa tetapi memegang pemerintahan dan bergelar Sultan Tahmidullah.

15. 1801 – 1825: Sultan Suleman Al Mutamidullah bin Sultan Tahmidullah
16. 1825 – 1857: Sultan Adam Al Wasik Billah bin Sultan Suleman
17. 1857 – 1859: Pangeran Tamjidillah
18. 1959 – 1862; Pangeran Antasari yang bergelar Panembahan Amir Oeddin Khalifatul Mu’mina
19. 1862 – 1905: Sultan Muhammad Seman yang merupakan Raja terakhir dari Kerajaan Banjar.

Kesultanan banjar mulai mengalami masa kejayaan pada dekade pertama abad ke-17 dengan lada sebagai komoditas dagang, secara praktis barat daya, tenggara dan timur pulau Kalimantan membayar upeti pada kerajaan Banjarmasin. Sebelum kesultanan Banjar membayar upeti kepada Kesultanan Demak, tetapi pada masa Kesultanan Pajang penerus Kesultanan Demak, Kesultanan Banjar tidak lagi mengirim upeti ke Jawa.

sumber : http://indoborneonatural.blogspot.co.id/2014/11/sejarah-kerajaan-banjar-kalimantan.html
sumber foto : https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSNO3evbCG55dob2TwFMLoKiFAqjjgSNhdnVFVBbFu_G1tCxYbpjw
 

Sejarah Berdirinya Kerajaan Kalingga


Sejarah Berdirinya Kerajaan Kalingga

Awal berdirinya kerajaan Kalingga diperkirakan dimulai pada abad ke-6 sampai abad ke-7. Nama Kalingga sendiri diambil dari kerajaan India kuno yang bernama Kaling, membuktikan bahwa ada tautan antara India dan Indonesia. Bukan hanya lokasi sempurna ibu kota dari kawasan ini saja yang tidak diketahui, tetapi juga catatan sejarah dari periode ini amatlah langka.
Salah satu wilayah yang dicurigai sebagai ibu kota kerajaan ini ialah Pekalongan sekaligus Jepara. Jepara dicurigai sebab adanya kabupaten Keling di pantai utara Jepara, sementara Pekalongan dicurigai karena memiliki masa lalu ketika awal dibangunnya kerajaan ini ialah sebuah pelabuhan kuno. Beberapa orang juga mempunyai inspirasi bahwa Pekalongan merupakan perubahan nama dari Pe-kaling-an.
Pada tahun 674, Kalingga dipimpin Ratu Shima yang terkenal dengan peraturan kejamnya menindak pencurian, dimana hal tersebut memaksa penduduk Kalingga menjadi jujur serta selalu memihak pada kebenaran.
Menurut cerita-cerita yang berkembang dalam masyarakat, pada suatu hari seorang raja dari negara yang asing datang dan meletakkan sebuah kantung berisi emas pada persimpangan jalan di Kalingga untuk menguji kebenaran dan kejujuran dari orang-orang Kalingga yang terkenal.
Dalam sejarahnya tercatat bahwa tidak ada yang berani menyentuh kantung emas yang bukan milik mereka, paling tidak selama tiga tahun sampai akhirnya anak dari Shima, yakni putra mahkota secara tidak sengaja menyentuh kantung tersebut dengan kakinya. Mendengar hal tersebut, Shima segera menjatuhkan hukuman mati pada anaknya sendiri.
Mendengar hukuman tersebut, beberapa orang memohon agar Ratu Shima hanya memotong kakinya sebab kakinya yang bersalah. Dalam beberapa cerita, orang-orang yang memohon bahkan meminta Ratu Shima hanya memotong jari anaknya.
Dalam salah satu kejadian pada sejarah kerajaan Kalingga, terdapat sebuah titik balik dimana kerajaan ini ter-Islamkan. Pada 651, Ustman bin Affan juga mengirimkan beberapa utusannya ke Tiongkok sambil mengemban misi memperkenalkan Islam di kawasan asing tersebut. Bukan hanya Tiongkok, namun Ustman juga mengirim beberapa utusannya ke Jepara (dulu Kalingga).
Kedatangan utusan yang terjadi setelah kepemimpinan ratu Shima turun kemudian digantikan oleh Jay Shima yang menyebabkan sang raja memeluk agama Islam, diikuti beberapa bangsawan Jawa yang juga meninggalkan agama asli mereka kemudian menganut Islam.
Seperti kebanyakan kerajaan lainnya di Indonesia, ketertinggalan juga dialami oleh kerajaan Kalingga ketika kerajaan tersebut runtuh. Dari seluruh peninggalan yang berakibat ditemukan ialah 2 candi bernama Candi Bubrah dan Candi Angin.
Candi Angin maupun Candi Bubrah yakni dua candi yang ditemukan di Desa Tempur, Keling. Dinamakan Candi Angin sebab letaknya yang tinggi dan berusia lebih tua dari Candi Borobudur. Candi Bubrah di sisi lain berupa sebuah candi yang baru setengah jadi, tapi usianya setara dengan Candi Angin.

sumber : http://jokowarino.id/sejarah-berdirinya-kerajaan-kalingga/ 
sumber foto : https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcShqXhA-90klQhBe-3tDTZnIXQbNd0KmvesSbpUfm3j7mBxiOIe

Kebudayaan Kalimantan Selatan


1. Rumah Adat


Rumah adat Kalimantan Selatan dinamakan Rumah Banjar Bubungan Tinggi. Rumah Banjar Bunbungan Tinggi mempunyai atap tinggi. Bagian depan rumah berfungsi sebagai teras yang dinamakan pelatar, tempat anggota keluarga bersantai.
Rumah ini merupakan rumah panggung dan dibawahnya dapat digunakan untuk menyimpan padi dan sebagainya. Seluruh rumah terbuat dari kayu ulin dan atapnya dari sirap kayu ulin.
2. Pakaian Adat

Pria memakai pakaian adat berupa tutup kepala(destra), baju rompi, sarung sebatas dengkul dan celana panjang yang disebut selawar. Sedangkan sebilah keris diselipkan didepan perut.
Wanitanya memakai tutup kepala berhiasankan kembang goyang yang disebut sumping, baju dan kain bersulam emas. Perhiasan yang dipakainya beruapa anting anting, kalung, pending, dan gelang. Pakaian pengantinini berdasarkan adat banjar.
3. Tari tarian Daerah Kalimantan Selatan

a.    Tari Baksa Kembang, merupakan tai selamat datang pada tamu agung dengan    menyampaikan untaian bunga.
b.    Tari Radap Rahayu, dipertunjukkan pada upacara tepung tawar, sebelum pengantun pria dan wanita dipersandingkan dipelaminan.
c.    Tari Mantang Gandut, tari gandut merupakan jenis tari garapan yang diangkat dari tari tradisional Kalimantan Selatan. Tari ini termasuk jenis tari pergaulan, dimana penari wanita, yang dinamakan Gandut, berusaha menarik simpati penonton, sedangkan penari pria(Mantang) menyambut tantangan itu dengan memilih pasangannya.
4. Senjata Tradisional

Keris adalah salah satu senjata tradisonal diKalimantan Selatan. Ukurannya paling panjang lebih kurang 30cmdan matanya terlogam lainnya. Senjata buat dari besi dicampur logam lainnya. Senjata lainnya adalah anak mandau, bujak (sejenis tombak), sumpitan, dan beliung.
5. Suku : Suku dan marga yang terdapat didaerah Kalimantan Selatan adalah : Banjang Hulu dan Banjang Kuala.
6. Bahasa Daerah : Banjar
7. Lagu Daerah : Sapu Tangan Bapucu Ampat, Ampar Ampar Pisang.
  
sumber : http://www.kebudayaanindonesia.com/2014/03/kalimantan-selatan.html